26 Agu 2014

BUPATI ITU ORANG CINA....!! !

 Oleh: Kenken


Belum terlalu hilang dari ingatan: hingar bingar, nyala api, asap hitam membumbung, teriakan massa anarkis memporak porandakan isi Jakarta, Medan dan Solo di peristiwa Mei 1998. Tiba-tiba di tahun 2005 seorang etnis Tionghoa bernama Ahok terpilih menjadi bupati di daerah basis Masyumi-Belitung Timur.
Ir. Basuki Tjahaja Purnama, MM bernama asli Zhong Wan Xie lahir di Manggar pada tanggal 29 Juni 1966. Masyarakat Bangka-Belitung dan juga sebagian Jakarta memanggilnya Ko Ahok (elder brother Ahok). Sosoknya tinggi di atas rata-rata manusia Asia. "ini fenomena besar" kata Ahan, seorang pemuda Tionghoa, ketika membaca berita pelantikan "Bupati Ahok" di medio 2005 setelah mengantongi 37,13% suara pemilih.

Ada nada haru, tidak percaya sekaligus kaget, tampak pada raut wajah dan sorot mata pemuda Ahan kala itu. Bagaimana mungkin, seorang Tionghoa bisa dipilih di sebuah daerah berkomposisi 93% muslim pribumi. Tetapi di tahun itu, Ahok terpilih lewat mekanisme demokratis dan termasuk paling bersih dalam sejarah pilkada di Indonesia.
Salah seorang peserta diskusi regular Sinar Harapan pernah berkata bahwa Ahok adalah bupati pertama beretnis Tionghoa setelah zaman Mataram. "Baguslah, Indonesia ada perubahan" kata Wignyo Prasteyo, aktifis 98 yang terlibat dalam perjuangan reformasi. "Pluralisme dan kesetaraan before the law mesti terus diperjuangkan" kata Wignyo.

Nada pesimis tetap dapat ditemui di sela-sela optimisme beberapa kalangan. Limwiss, seorang karyawati perusahaan Jepang di Jakarta, berkata "Soalnya siapa pun orang Chinese jadi pemimpin di Indonesia tidak ada pengaruh. Posisi orang Chinese itu berat di pemerintahan. Sana-sini kena". Sedangkan laporan TEMPO menyatakan Ahok adalah pahlawan baru bagi sebagian besar warganya.
"Kamu ini benar-benar anak ideologis bapakmu" kata mantan wakil walikota Pangkalpinang kepada Ahok di sebuah pesta resepsi pernikahan temannya. Beberapa kelompok menolak Ahok berdasarkan surat Al-Maeda 51 yang menolak non-muslim untuk menjadi pemimpin. Endah Handayani Syarif, putri pejabat PT. Timah di Belitung Barat mengatakan "keluarga kami memilih Ahok dengan alasan mencoba yang baru. Ahok kan "cina", selama ini pribumi yang mimpin tapi kita tetap aja susah".
Di akhir masa kekuasaan Suharto, terdapat seorang menteri beretnik Tionghoa bernama Bob Hasan (The Kian Seng) dalam formasi menteri Kabinet Pembangunan VII Orde Baru. 

Hasan, teman bermain golf Suharto, menduduki kursi menteri hanya sekitar 2 bulan. Banyak pihak menuding bahwa naiknya anak angkat Jenderal Gatot Subroto itu tidak lebih sebagai permainan Suharto untuk menampilkan "wajah-reformis. Setelah reformasi bergulir, jerat hukum mengharuskan Bob Hasan, yang juga sering dijuluki "raja kayu", mendekam di penjara Nusakambangan karena terbukti melakukan tindak kejahatan korupsi.
Sebelum Ahok menjadi bupati, pentas politik nasional juga dimeriahkan oleh kiprah Kwik Kian Gie. Antara tahun 1999-2000, KKG menjabat Menteri Kordinator Ekonomi di pemerintahan Gus
Dur. Berbeda karakter dengan Muhamad "Bob" Hasan, seorang
Kwik Kian Gie tetap diakui sebagai tokoh bebas KKN di samping analisa-analisa ekonominya selalu menjadi bahan pembicaraan kalangan akademisi dan pelaku ekonomi.

Tetapi jabatan eksekutif di pemerintah daerah tingkat dua seperti bupati dan walikota memiliki kekhususan tersendiri, dibandingkan dengan anggota legislatif (DPR-RI) maupun jabatan pembantu presiden sebagai menteri negara. "Karena seorang bupati bersentuhan langsung dengan rakyat, melihat secara langsung penderitaan dan masalah rakyat di akar rumput", kata Tutut Herlina, aktifis yang sekarang menjadi wartawan.
Istilah Bupati berasal dari bahasa Sansekerta "Bhupati" yang berarti "raja dunia". Sebelum tahun 1945, gelar bupati hanya dipakai di pulau Jawa, Bali dan Madura. Pasca reformasi dan
pelaksanaan otonomi daerah, seorang bupati memiliki kewenangan
menjalankan pemerintahan daerah yang ditetapkan oleh DPRD tingkat II. Kekuasaan seorang bupati diperoleh atas mandat
dipilih langsung oleh rakyat setempat melalui mekanisme
pilkada. Sekalipun pasangan calon bupati dan wakil bupati masih ditetapkan oleh partai politik. Baru-baru ini UU calon independen memungkinkan calon bupati tidak diusung oleh partai politik.

Selama menjadi bupati, Ahok selalu membuka lebar kaca jendela mobil dinas Nissan Terano-nya. Ia tak segan menyapa setiap orang yang kebetulan berpapasan, entah itu pribumi, Tionghoa, Kristen, Islam, Konghucu, Budhis diperlakukan setara dan penuh hormat.
Sekalipun diusung oleh 2 partai gurem: PIB dan PNBK, Ahok menggebrak 2 masalah utama masyarakat yaitu Pendidikan dan Kesehatan.

Jaminan pendidikan bagi rakyat menjadi tren kampanye calon bupati/walikota di seluruh Indonesia pasca Ahok. Tetapi menurut Ahok, dia tidak pernah menggratiskan pendidikan
dan kesehatan. Pola "gratis-gratisan" tidak sehat menurut Ahok. Ia hanya menjamin bahwa siapapun rakyat, terutama rakyat tidak mampu, harus dapat mengakses pendidikan dankesehatan. Di bawah kepimpinan Ahok pula, belasan siswa berprestasi dapat dikirim kuliah ke Jakarta lewat program beasiswa. Setiap siswa disubsidi Rp 1 juta perbulan.
Aneh, Ahok melakukan gebrakan ini tanpa didukung oleh dukungan partai politik di DPRD. Rasionalitas politik menyatakan bahwa hanya seorang bupati dengan basis dukungan kuat partai-politik saja yang mampu melakukan gebrakan seperti ini. Itu pun sangat jarang kita temui di seantero Indonesia. Biasanya, walikota/bupati lebih sibuk berkongkalikong dengan anggota
dewan dan pengusaha daripada "ribet urus" rakyat.

Program jaminan pendidikan dan kesehatan dilaksanakan Ahok dengan menerapkan jurus dagang. Ia berdebat keras hingga mampu menaklukan PT. Askes dalam urusan premi kesehatan rakyat Beltim. Hasil tawar-menawar antara Bupati Ahok vs PT. Askes menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa pemerintah daerah cukup membayar separoh harga normal untuk menopang biaya asuransi kesehatan 50 ribu penduduk Beltim. "itu baru bener" kata Asri, staf Komnas HAM. "Bupati memang harus tidak korupsi dan menggunakan anggaran negara untuk masyarakat. Jangan dikorup kayak bupati-bupati lain", tambah Asri yang berjilbab hitam.
Sebelum Ahok, tidak ada bupati yang memotong biaya perjalanan dinas dari Rp. 1 milyar per- tahun menjadi seperlimanya. "Gila, hebat amat" kata Web Warouw, wartawan Sinar Harapan. "Seandainya setengah dari 400 kepala daerah tingkat II seperti Ahok, beres negara ini", lanjut Web dengan penuh harapan.

Laporan TEMPO menurunkan berita bahwa menurut para pegawai negeri Belitung Timur, Ahok sangat keras menerapkan disiplin. Mereka yang ketahuan "kongkow" pada jam kerja langsung mendapat sangsi, ditahan kenaikan pangkatnya. Di sisi lain, Ahok memberi honor untuk para ketua RT Rp 300 ribu, Ketua Dusun Rp 640 ribu, dan Kepala Desa Rp 2 juta per bulan. "ternyata cukup ya anggaran negara kalau tidak dikorupsi oleh bupatinya", celoteh Asri dari Komnas HAM.
Keberpihakan dan prestasi Ahok selama menjabat bupati dihargai oleh Gerakan Tiga Pilar kemitraan yang terdiri dari Masyarakat Transparansi Indonesia, KADIN dan Kementerian Negara Pemberdayaan Aparatur Negara sebagai pejabat negara anti korupsi.

Oleh majalah TEMPO, Ahok terpilih sebagai 1 di antara 10 tokoh yang mampu mengubah Indonesia. "Ahok semestinya menjadi 'Obama-Indonesia', bukan si Rizal Malalareng" kata Ahan di sela-sela aktifitas menjual bubur ayam di depan rumahnya yang berdekatan dengan pasar tradisional di kawasan Jelambar Jakarta Barat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar